Resensi Buku 'Sekolah Menengah Suka-suka', Perjalanan Riset Anak SMA di Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta

- 12 Juli 2021, 22:38 WIB
Resensi Buku 'Sekolah Menengah Suka-suka", Perjalanan Riset Anak SMA di Sanggar Anak Alam (SALAM)  Yogyakarta
Resensi Buku 'Sekolah Menengah Suka-suka", Perjalanan Riset Anak SMA di Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta /Nadya Rizqi Hasanah Devi/

Judul Buku : Sekolah Menengah Suka-suka

Penulis: SMA Sanggar Anak Alam

IG Penulis : @salam_jogja

Penerbit : SALAM Books

SRAGEN UPDATE - Kembali ke memori ketika memakai seragam sekolah, apalagi masa putih abu-abu pasti terekam sejuta rasa.

Masa peralihan dari anak-anak menuju remaja hingga menjadi dewasa merupakan pengalaman hidup yang tak terlupakan.

Gedung sekolah seakan menjadi tempat bagi seseorang untuk mempersiapkan diri dengan belajar sungguh-sungguh demi menyiapkan bekal untuk masa depan.

Namun, tak dapat dipungkiri, masih sering kita jumpai mereka yang telah dinyatakan ‘lulus’ dari jenjang sekolah menengah atau SMA masih bingung dengan langkah selanjutnya yang harus ia lakukan.

Bahkan masih banyak diantaranya tak tahu hendak melakukan apa setelah lepas dari status ‘siswa.’

Baca Juga: Amazing! BTS Permission to Dance Sapu iTunes Charts di Seluruh Dunia

Lalu, berapa tahun waktu yang mereka butuhkan di bangku sekolah untuk memahami kehendak dalam dirinya? Menemukan passion yang seharusnya merekan kembangkan?

Melatih keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan kompetensinya?Adakah yang salah? Ada apa dengan sekolah kita?

Buku ‘Sekolah Menengah Suka-suka’ mengenalkan kita dengan Sanggar Anak Alam atau yang biasa disebut dengan SALAM.

Tempat belajar yang anti-mainstream berlokasi di daerah Bantul, Yogyakarta. Tidak ada seragam , tidak ada pelajaran dan tidak ada guru.

Baca Juga: Amalan Sunnah di 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah Menurut Ustadz Somad

Tidak ada seragam karena mereka tidak diharuskan untuk berpenampilan sama untuk mengenal arti dari perbedan. Tidak ada pelajaran karena mereka harus menemukan ketertarikan terhadap suatu hal untuk dijadikan sebuah riset atau penelitian.

Lalu, tidak ada guru, artinya tidak ada orang yang ‘lebih dewasa’ yang bertugas untuk memberikan materi pelajaran, karena guru disini disebut dengan fasiliator.

Yaitu seseorang yang mendampingi dan memfasilitasi anak-anak untuk menemukan sesuatu yang menarik untuk anak-anak pelajari dan kembangkan.

Jangan mengaitkan sistem pembelajaran tersebut terkesan ‘suka-suka’, dimana mungkin anak-anak yang belajar disana hanya bisa bermain-main saja.

Akan tetapi perjalanan itu dimulai ketika mereka mengawali riset. Model pembelajaran yang dilakukan adalah berbasis riset, dari mulai riset bersama, kolaborasi hingga indivdu.

Baca Juga: Sebelum Menikah, Kenali Lima Karakter Istri Idaman Suami, Salah Satunya Perhatian

Namun tidak perlu disamakan dengan riset atau penelitian mahasiswa yang cenderung rumit dan teoritis karena riset yang mereka lakukan dimulai dari dirinya sendiri.Yaitu menemukan ketertarikan terhadap suatu hal untuk dipelajari dan dikembangkan.

Jika anak sekolah lain sudah memiliki beragam buku teks dari pelajaran yang bermacam-macam untuk dipelajari, Anak SALAM justru harus mencari dan menemukan materi pelajarannya.

Mereka menyebutnya narasumber mulai dari seorang ahli dalam bidang tertentu atau referensi yang tekait dengan bidang yang sedang ditelitinya.

Tentu saja, belajar dari ketertarikan tersebut membuat setiap anak akan memiliki topik riset yang berbeda-beda.

Mereka akan fokus dengan objek atau subjek yang ditelitinya dan berkompetisi dengan diri sendiri untuk menyelaraskan komitmen agar bisa menuntaskan riset tersebut.

Baca Juga: Tes Kepribadian Kamu Melalui Sosial Media, Yuk Coba Dilihat!

Buku ‘Sekolah Menengah Suka-suka’ ini menjadi catatan penting perjalanan remaja SMA dalam merekam proses belajar di SALAM.  Mulai dari proses mereka beradaptasi dengan lingkungan belajar yang sangat berbeda dari sekolah formal hingga perjalanan riset yang mereka alami.

Sungguh menarik dan sedikit membuat iri dengan membaca kisah mereka. Menarik karena di masa belajarnya, mereka harus berfokus untuk memhami dan mengenal diri mereka dengan baik.

Hal itu sangat diperlukan untuk menemukan topik riset, mereka juga mendapatkan kesempatan untuk mencoba-mencoba, terbiasa dengan kegagalan dan belajar untuk terus berjalan demi menyelesaikan risetnya.

Begitulah memang sebuah riset atau penelitian dilakukan, pasti akan ditemukan hambatan-hambatan sebelum mengetahui hasil akhirnya.

Baca Juga: Menu Ini Mengantarkan Nadya Langsung Ke Top Ten Masterchef Indonesia Season 8

Hal itulah yang membuat iri karena kesempatan belajar seperti itu tidak bisa dirasakan oleh semua anak di Indonesia. Mereka yang mengalami proses belajar di sekolah formal seringkali terjebak dalam pelajaran-pelajaran rumit yang sebenarnya tidak ingin dipelajarinya.

Sebagaimana digambarkan dalam kutipan menarik yang ditulis oleh Happy, satu dari anak SMA SALAM, “Mereka yang belajar dengan terpaksa mungkin akan berhasil, tetapi mereka yang belajar dengan bebas, entah apapun hasilnya akan tetap Bahagia”.

Catatan anak-anak SMA Sanggar Anak Alam ini menjadi buku yang menarik untuk dibaca, khususnya yang memiliki ketertarikan dalam dunia Pendidikan.

Melalui buku ini sekilah kita akan mengenal SALAM, Sanggar Anak Alam sebagai sekolah alternatif yang menawarkan sistem Pendidikan anti-mainstream dan memiliki tujuan yang jelas.

Yaitu mengantarkan seorang anak untuk mengenal dan mengajarkan sejatinya proses belajar yang bermakna dalam kehidupan.***

Editor: Nadya Rizqi Hasanah Devi

Sumber: SMA Sanggar Anak Alam. 2021. Sekolah Menengah Suka-suka. SAL


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah