4 Hal yang Biasanya Masih Menjadi Pertanyaan Ketika Meng-qadha’ Puasa Ramadhan, Berikut Penjelasannya!

23 Januari 2023, 21:02 WIB
4 Hal yang Biasanya Masih Menjadi Pertanyaan Ketika Meng-qadha’ Puasa Ramadhan, Berikut Penjelasannya! /Ilustrasi/Freepik/

SRAGEN UPDATE — Qadha’ adalah bentuk masdar dari kata dasar “qadhaa”, yang memiliki arti memenuhi atau melaksanakan.

Sedangkan menurut istilah dalam Ilmu Fiqh, qadha dimaksudkan sebagai pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam.

Misalnya, qadha puasa Ramadhan yang berarti puasa Ramadhan itu dilaksanakan sesudah bulan Ramadhan.

Namun, menurut para ahli bahasa Arab, penggunaan istilah qadha untuk pengertian seperti di atas (istilah dalam ilmu fiqh) sama sekali tidak tepat.

Baca Juga: Penjelasan Ending The Forbidden Marriage: Berakhirnya Larangan Menikah

Hal ini karena pada dasarnya kata qadha, memiliki makna yang sama dengan kata ada’ yang artinya pelaksanaan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam.

Oleh karena itu, tidaklah tepat kata qadha’ dimaksudkan untuk istilah yang artinya bertolak belakang dengan ada’.

Akan tetapi, nyatanya istilah qadha’ tersebut telah membudaya, menjadi baku dan berlaku dalam ilmu fiqh, untuk membedakannya dengan kata ada’ yang merupakan pelaksanaan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan.

Dilansir SragenUpdate.com dari Islam.nu.or.id berikut adalah 4 Hal yang biasanya masih menjadi pertanyaan ketika meng-qadha’ puasa Ramadhan.

Baca Juga: Suga BTS Beri Lampu Hijau untuk ‘Yoongi Marry Me’ Syaratnya hanya Kimchi

1. Wajibkah qadha’ puasa dilaksanakan secara berurutan?

Qadha’ puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 184. Dan tidak ada ketentuan lain mengenai tata cara qadha’ selain dalam ayat tersebut.

Adapun mengenai wajib tidaknya qadha’ puasa dilakukan secara berurutan, ada dua pendapat.

Pendapat pertama, menyatakan bahwa jika hari puasa yang ditinggalkan berurutan, maka qadha’ harus dilaksanakan secara berurutan pula, lantaran qadha’ merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa pelaksanaan qadha’ puasa tidak harus dilakukan secara berurutan, lantaran tidak ada satu­pun dalil yang menyatakan qadha’ puasa harus berurutan.

Baca Juga: Prediksi Skor Valencia vs Almeria Lengkap Daftar Pemain, Head to Head Lima Pertandingan Terakhir

Sementara Q.S. Al-Baqarah ayat 184 hanya menegaskan bahwa qadha’ puasa, wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan.

Selain itu, pendapat ini didukung oleh pernyataan dari sebuah hadits yang sharih (jelas dan tegas).

Sabda Rasulullah SAW:

قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ

“Qadha’ (puasa) Ramadhan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan.” (HR. Daruquthni, dari Ibnu ‘Umar)

Kesimpulan: qadha' puasa tidak wajib dilakukan secara berurutan. Namun dapat dilakukan dengan leluasa, kapan saja dikehendaki. Boleh secara berurutan, boleh juga secara terpisah.

Baca Juga: BLACKPINK Prank Penggemarnya di Konser, Mereka Semua Hampir Tertipu Karena Ini!

2. Bagaimana jika qadha’ tertunda sampai Ramadhan berikutnya?

Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha’ puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup yaitu, sampai bulan Ramadhan berikutnya.

Namun, tidak mustahil jika ada orang-orang dengan alasan tertentu belum juga melaksanakan qadha’ puasa Ramadhan, sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.

Kejadian seperti ini, dapat disebabkan oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti, selalu ada halangan, sering sakit misalnya, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya dan lain sebagainya.

Sehingga pelaksanaan qadha’ puasanya ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan berikutnya.

Baca Juga: Prediksi Skor Atletico Bilbao Vs Real Madrid: Berita Tim, Head to Head, dan Kemungkinan Starting Line-Up

Penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya tanpa halangan yang sah maka hukumnya haram dan berdosa.

Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran udzur yang selalu menghalanginya, maka tidaklah berdosa.

Adapun mengenai kewajiban fidyah’ yang dikaitkan dengan adanya penangguhan qadha’ puasa Ramadhan tersebut, di antara para Fuqaha ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa: penangguhan qadha’ puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Baik penangguhannya tersebut karena ada udzur atau tidak.

Baca Juga: Prediksi Skor Atletico Bilbao Vs Real Madrid: Berita Tim, Head to Head, dan Kemungkinan Starting Line-Up

Pendapat kedua menyatakan bahwa: penangguhan qadha’ puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya ada tafshil (rincian) hukumnya.

Yakni jika penangguhan tersebut karena udzur, maka tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah.

Sedangkan jika penangguhan tersebut tanpa udzur, maka menjadi sebab diwajibkannya fidyah.

3. Bagaimana jika meninggal dunia sebelum qadha’?

Memenuhi kewajiban membayar hutang adalah sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT.

Baca Juga: Jhon LBF Suka Potong Gaji dan Pecat Karyawan Seenaknya, Berikut Penjelasan Lengkap dari Ex Karyawannya

Sehingga orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban qadha’ puasa Ramadhan, sama artinya dengan mempunyai tunggakan hutang kepada Allah SWT.

Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya. Adapun dalam praktik pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan tersebut, ada dua pendapat yakni:

Pendapat pertama, menyatakan bahwa: pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan orang yang meninggal dunia tersebut dapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya.” (HR. Tirmidzi, dari Ibnu ‘Umar)

Baca Juga: 6 Underrated K-Drama Tahun 2022 yang Mungkin Kamu Lewatkan, Ada Drama Korea yang Diperankan Choi Siwon

Hadits di atas, yang mendukung pendapat pertama. Namun oleh perawinya sendiri yakni, Imam Tirmidzi telah dinyatakan sebagai Hadits Gharib.

Bahkan oleh sebagian ahli hadits dinyatakan sebagai Hadits Mauquf, atau ditangguhkan alias tidak dipakai.

Sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah.

Namun demikian, para Fuqaha yang menyatakan pendapat ini menguatkannya dengan berbagai peristiwa seperti, bahwa masyarakat Madinah melaksanakan hal yang seperti ini, yakni memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari yang telah ditinggalkan puasanya oleh orang yang meninggal dunia.

Baca Juga: Tahun Baru Imlek 2023, Tahun Kelinci Air: Kepribadiannya dan Semua yang Perlu Diketahui!

Pendapat kedua, menyatakan bahwa: jika orang yang memiliki kewajiban qadha’ puasa meninggal dunia, maka pihak keluarganya wajib melaksanakan qadha’ puasa tersebut, sebagai gantinya. Dan tidak boleh dengan fidyah.

Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan qadha’ puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain, dengan izin atau atas perintah keluarganya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Kesimpulan: pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf seperti dijelaskan di atas.

Baca Juga: Penjelasan Ending JUNG_E, Posisi 1 Netflix Global Setelah 1 Hari Rilis: Hubungan Tragis Ibu Robot dan Anak

Sedangkan peristiwa yang menguatkannya yakni, apa yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu, sama sekali tak dapat dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.

4. Bagaimana jika jumlah hari yang ditinggalkan tidak diketahui?

Melaksanakan qadha’ puasa sebanyak hari yang telah ditinggalkan merupakan suatu kewajiban.

Baik qadha’ puasa untuk dirinya sendiri, maupun untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia.

Namun dalam hal ini, tidak mustahil terjadi bahwa jumlah hari yang harus qadha’ puasa itu tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang sulit diketahui jumlah harinya.

Baca Juga: Nasihat Dari Jack Ma untuk Anak Muda yang Suka Ngeluh dan Putus Asa, Dia Pernah Iri Dengan Bill Gates!

Dalam keadaan seperti ini, alangkah baiknya jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum.

Lantaran kelebihan hari qadha’ puasa adalah lebih baik ketimbang kurang.

Di mana kelebihan hari qadha’ tersebut akan menjadi ibadah sunnah yang tentunya memiliki nilai tersendiri.***

Editor: Inayah Nurfadilah

Tags

Terkini

Terpopuler