SRAGEN UPDATE - Pernikahan merupakan fase hidup ketika seorang wanita menyandang status sebagai istri dan pria menyandung status sebagai suami.
Baik istri maupun suami, masing-masing pihak memiliki kewajiban yang harus dipenuhi dan dijalankan, juga memiliki hak yang bisa diminta kepada pasangan.
Namun, bagaimana jika istri selalu menuntut berlebihan kepada suaminya? Maka, Islam memiliki jawabannya yang termasuk dalam bidang Fikih Muamalah Bab Pernikahan.
Seorang ulama bernama Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan tentang kasus di mana sang istri selalu menuntut berlebihan pada suaminya.
Menurut beliau, meskipun istri memiliki hak untuk dinafkahi oleh suami, jika terlalu menuntut berlebihan padahal suaminya telah bekerja keras dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, maka perlakuan ini termasuk perbuatan yang buruk.
Hal tersebut telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Surat Ath-Thalaq ayat 7 yang berbunyi:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ
Artiya:
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7).
Baca Juga: Bolehkah Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali? Islam Menjawab Begini dalam Fikih Pernikahan
Dengan melihat firman Allah di atas, maka seorang istri tidak boleh menuntut lebih dari penghasilan suaminya.
Selain perihal penghasilan, istri juga tidak boleh meminta berlebihan kepada suami melebihi perilaku / perbuatan yang biasa dilakukan suami.
Allah SWT berfirman dalam Alqur’an mengenai istri dan wanita:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Artinya:
“…. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.“ (QS. An-Nisa: 19).
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ
Artinya:
“…. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana." (QS. Al-Baqarah: 228).
Di sisi lain, suami tetap berkewajiban memberikan nafkahnya untuk sang istri, apa pun kondisinya.
Ada pun jika kondisi suami sedang mengalami pailit, istri bahkan diperbolehkan mengambil harta suaminya sekadarnya saja untuk memenuhi kebutuhannya, sekali pun tanpa sepengetahuan suami.
Diperbolehkannya mengambil harta sekadarnya ini didasarkan pada kisah Hindun binti Utbah yang pernah mengadu kepada Rasulullah SAW.
Kepada beliau, Hindun menceritakan bahwa Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit. Ia tidak memberi nafkah untuk mencukupi kubutuhannya dan anak-anaknya.
Lalu Nabi Muhammad SAW bersabda:
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya:
“Ambillah dengan cara yang makruf dan sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan kebutuhan anak-anakmu”.
Wallahu a’lam bish-showaab. Semoga bermanfaat.***