Hukum Talak dalam Islam Ketika Suami Sedang Mabuk atau Marah

30 Desember 2022, 19:15 WIB
Ilustrasi. Hukum Talak dalam Islam Ketika Suami Sedang Mabuk atau Marah /Pixabay/

SRAGEN UPDATE - Talak merupakan kata perceraian yang diucapkan oleh pihak istri atau pun suami.

Talak juga dibahas tersendiri dalam bab Pernikahan Ilmu Fiqih, salah satu cabang ilmu dalam agama Islam yang membahas mengenai hukum-hukum segala sesuatu yang bersinggungan dengan kehidupan pribadi dan sosial.

Termasuk juga dibahas mengenai hukum talak yang dilayangkan seorang suami ketika dirinya sedang mabuk atau marah, apakah dalam Islam talak telah jatuh?

Berikut penjelasan dan jawabannya lengkapnya.

Baca Juga: Bolehkah Istri Melakukan Talak atau Perceraian Ketika Mengetahui Suami Mandul? Ini Jawaban Islam

Berawal dari pertanyaan dari seorang muslim / muslimah kepada seorang ulama bernama Syekh Ibnu Utsaimin.

“Aku telah menalak istriku tiga kali secara terpisah.

Talak pertama terjadi ketika aku sedang mabuk dan marah. Kemudian talak kedua dan ketiga terjadi ketika aku sedang marah besar.

Mengingat masih ada rasa cinta di antara kami, bolehkah saya rujuk (kembali) kepadanya?”

Syekh Ibnu Utsaimin pun menjawab seperti ini:

Yang pertama, si penanya menyebutkan bahwa ia telah menalak istrinya tiga kali.

Talak pertama terjadi ketika dirinya dalam keadaan mabuk dan marah.

Baca Juga: 17 Turnamen Nihil Gelar, Ahsan 'The Daddies' Puas Dengan Performa Sepanjang Tahun 2022

Talak kedua terjadi pada saat dia sedang marah besar, begitu pun pada talak ketiga.

Maka ditanyakan kepada saya, apakah telah jatuh talak (tiga) pada istrinya.

Dari sini, perlu saya tanyakan juga, “Apakah saya menganggapnya sebagai talak atau tidak?, karena dia sendiri menganggapnya entah talak, entah juga bukan talak.

Karena para ulama berbeda pendapat tentang talak orang mabuk.

Sebagian dari para ulama berpendapat jatuh talak sebagai hukuman bagi yang mabuk tersebut.

Namun pendapat yang kuat adalah talak tidak jatuh, karena orang yang menalak sedang tidak berakal dan tidak tahu apa yang dia ucapkan.

Meski begitu, tetap ada hukumannya, yaitu dengan dicambuk.

Misalnya jika dia meminum untuk pertama kalinya, dia dicambuk.

Jika dia mengulangi untuk kedua kalinya, maka dia dicambuk lagi.

Dan jika mengulanginya untuk ketiga kali, maka dia dicampuk lagi.

Jika dia mengulangi untuk keempat kali, dia dibunuh.

Karena Rasululla SAW pernah bersabda yang artinya:

“Barang siapa yang meminum khamr, maka jilidlah. Jika dia meminum lagi, maka jilidlah. Jika dia memnium lagi, maka jilidlah. Jika dia meminum lagi, maka bunuhlah”.

Baca Juga: UMR Tertinggi di Indonesia Tahun 2023, Kira-Kira Kamu Mau Kerja Dimana Nih?

Dari sabda Nabi SAW di atas diperintahkan untuk membunuh orang yang meminum khamr sebanyak empat kali.

Meski begitu, para ulama berbeda pendapat juga apakah ketetapan ini dihapus, ataukah bisa dijadikan sebagai pijakan hukum?

Ada yang berpendapat ketetapan ini dihapus, dan ada pula yang berpendapat ini bisa dijadikan sebagai pijakan hukum.

Di lain sisi, ada juga sebagian ulama berpendapat bahwa ketetapan ini bisa dijadikan sebagai pijakan hukum tetapi terikat.

Pendapat yang paling bijak adalah ketetapan ini bisa dijadikan sebagai pijakan hukum tetapi terikat.

Baca Juga: 5 Makanan Khas Jawa Tengah yang Wajib Anda Coba, Ada yang Menggunakan Daging Kerbau

Jadi, jika orang tidak menghentikan minum khamr tanpa pembunuhan, maka ia dibunuh karena minum untuk keempat kalinya.

Namun jika orang berhenti minum tanpa (hukuman) bunuh, maka kita tidak membunuhnya.

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.

Adapun yang berpendapar bahwa jika untuk ketiga kalinya dia dijilid, lalu pada keempat kalinya dia dibunuh secara mutlak adalah ahli zhahir (tekstualitas), seperti Ibnu Hazm, dan orang yang mengikuti atau mendahului Ibnu Hazm.

Kemudian untuk mereka yang berpendapat bahwa ketetapan ini dihapus adalah jumhur ahlul ilmi.

Tetapi sebagaimana kita tahu bahwa penghapusan hukum tidak boleh dijadikan pegangan kecuali denga dua syarat.

Baca Juga: 9 Penyebab Talak atau Cerai dalam Islam dari Pihak Suami - Istri

Pertama, tidak mungkin digabungkan.

Kedua, mengetahui hukum penghapus datang belakangan.

Jika kemungkinan untuk digabungkan, maka penghapusan hukum tidak bisa dilakukan.

Karena ketika nash-nash yang ada bisa digabungkan, maka wajib memilih pendapay yang menggabungkannya sehingga kita tidak membuang sebagian nash yang ada.

Dan jika tidak diketahui sejarahnya, maka wajib tawaqquf (menahan diri), karena tidak dimaafkan jika seseorang menghapus hukum yang terakhir dengan hukum yang pertama.

Adapun talak kedua: ia mengatakan bahwa ia melakukannya ketika sedang marah besar.

Marah memiliki tiga tingkat, yaitu ringan, pertengahan, dan puncak. Penjelasannya sebagai berikut:

Baca Juga: Suga BTS Beri Peringatan untuk Comeback Terbarunya, Kode Debut Solo?

1. Marah Ringan

Dalam tingkatan pertama ini, manusia masih sadar dengan apa yang dia ucapkan dan masih bisa mengendalikan dirinya.

Marah di tingkatan ini tidak memiliki pengaruh baginya.

Artinya, orang yang marah ringan memiliki konsekuensi hukum dari ucapannya.

Pada tingkatan ini, sanksi hukum dari orang marah disamaratakan dengan orang normal lainnya.

2. Marah Pertengahan

Yaitu tidak sampai pada puncak kemarahan, tetapi dia sudah tidak bisa mengendalikan dirinya, sehingga seolah-olah ada sesuatu yang menekan dirinya sehingga ia mengucapkan kata-kata talak.

Baca Juga: Intip Kehidupan Nabi Muhammad, Inilah Cara Makan Rasulullah SAW

Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang mengucapkan talak pada kondisi ini.

Namun pendapat yang benar adalah tidak jatuh talak meskipun orangnya dalam keadaan marah pertengahan, sebagaimana sabda Nabi SAW:

لاَطَلَاقَ فِي إِغْلَاقِ

Artinya:

“Tidak ada talak ketika marah.”

3. Marah Puncak

Pada kondisi ini, orang yang marah tidak tahu apa yang dia ucapkan dan tidak tahu apakah dia berada di langit atau di bumi.

Baca Juga: Cadiz vs Almeria: Prediksi Skor, Analisis Pemain, History Laga Kedua Tim

Dalam kondisi seperti ini, sebagian orang terkadang terlalu impulsif jika sedang marah.

Sehingga dia tidak tahu apa yang dia ucapkan dan tidak bisa mengendalikan dirinya.

Dia juga tidak tahu apakah orang yang bersama dirinya itu istrinya atau lelaki yang berasal dari pasar.

Maka orang yang mengucapkan kata talak dalam keadaan marah puncak maka talaknya tidak akan terjadi, sebagaimana sabda Nabi SAW:

لاَطَلَاقَ فِي إِغْلَاقِ

Artinya:

“Tidak ada talak ketika marah.”

Itulah tadi tiga tingkatan amarah yang memiliki konsekuensi hukum berbeda ketika mengucapkan talak.

Selain itu, talak juga tidak terjadi ketika suami dipaksa oleh orang lain.

Baca Juga: Kiat Sukses Jualan Online yang Bikin Kaya!

Keadaan seorang suami sedang marah lalu mengucapkan talak itu merupakan adanya paksaan dari luar yang tidak bisa dikontrol dirinya.

Karena marah mengakibatkan kemudharat-an atau keburukan pada rumah tangga suatu pasangan, lebih baik menghindari amarah daripada terlanjur mengucapkan talak.

Juga hindari untuk mabuk-mabukan karena itu juga dilarang dalam Islam.

Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

Penjelasan di atas dilansir SragenUpdate.com dari buku Fikih Kontemporer Wanita dan Pernikahan karya Muhammad Samih Umar.***

Editor: Inayah Nurfadilah

Tags

Terkini

Terpopuler