Kisah Tragedi di Gaza: Pemimpin Dunia Hanya Diam Saat Pembantaian Terus Berlanjut

13 Februari 2024, 21:40 WIB
Kisah Tragedi di Gaza: Pemimpin Dunia Hanya Diam Saat Pembantaian Terus Berlanjut /WartaBulukumba.Com

SRAGEN UPDATE - Dalam buku "The Faithful Triangle" (1983), Chomsky menyebut sekitar 275 warga Palestina tewas dalam serangan brutal oleh pasukan Israel pada 3 November 1956.

Pembantaian Khan Yunis, yang tercatat dalam sejarah, melibatkan penjelajahan rumah ke rumah oleh pasukan Israel dalam pelaksanaannya.

Sembilan hari setelah pembantaian yang diabaikan oleh banyak negara adidaya pada saat itu, pasukan Israel kembali melakukan serangan mematikan di Kota Rafah, mengakibatkan kematian minimal 111 warga dan pengungsi di kota paling selatan di Jalur Gaza.

Para penyintas mengungkapkan dalam catatan mereka bahwa pasukan Israel di Jalur Gaza selatan mengumpulkan pria dewasa di atas usia 15 tahun.

Israel menyampaikan klaim bahwa semua warga sipil secara kolektif bertanggung jawab atas serangan terhadap pasukan IDF, yang kemudian diikuti oleh eksekusi terhadap tahanan Gaza.

Baca Juga: Choi Siwon Super Junior Berikan Bantahan atas Tuduhan Keterlibatan Penipuan Koin

Pada periode pasca-Krisis Suez, antara 1 November 1956 hingga 7 Maret 1957, IDF dilaporkan melakukan eksekusi terhadap ratusan warga sipil, dengan perkiraan jumlah korban berkisar antara 930 hingga 1.200 orang.

Tidak ada satupun anggota pasukan Zionis yang diadili atas pembantaian tersebut.

Sekitar 66 tahun kemudian, peristiwa serupa terjadi di Kota Rafah, di mana IDF kembali terlibat dalam pembantaian.

Sebelumnya, beberapa bulan sebelumnya, Israel memaksa warga Kota Gaza dan wilayah utara Jalur Gaza untuk pindah ke "wilayah aman" di selatan, termasuk di Kota Rafah.

IDF, yang mengklaim sebagai ‘pasukan paling bermoral di dunia’, melakukan serangan di Kota Rafah yang mengakibatkan kematian 67 warga sipil, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza hingga Senin.

Israel sering kali membenarkan tindakan tersebut dengan mengklaim mereka menargetkan pejuang Hamas, tetapi jika warga sipil tewas, mereka menyalahkan Hamas yang menggunakan mereka sebagai perisai manusia.

IDF menggunakan amunisi dan senjata yang sebagian besar diberikan oleh negara-negara Barat.

Baca Juga: Ketua PPLN Nyatakan Surat Suara dari 3 Wilayah di Papua Nugini Belum Tiba di KBRI PNG

Salah satu kisah yang mencolok adalah tentang Hind Rajab, seorang anak perempuan berusia enam tahun yang tewas oleh pasukan Israel di Jalur Gaza.

Pada 29 Januari yang lalu, Hind dan keluarganya sedang melarikan diri dari Kota Gaza yang diserang oleh pasukan Israel.

Mereka tengah dalam perjalanan menggunakan kendaraan saat diserang oleh tank Israel di sebelah barat Kota Gaza.

Meskipun terjadi serangan tersebut, Hind masih berhasil bertahan dan menghubungi lembaga bantuan Bulan Sabit Merah dengan ponselnya, meminta bantuan.

Meskipun Hind menghubungi Bulan Sabit Merah dalam keadaan panik, panggilannya terputus setelah terdengar teriakan dan tembakan.

Satu ambulans dari Bulan Sabit Merah segera merespons, tetapi tidak kembali setelahnya.

Setelah 12 hari, Bulan Sabit Merah mendapat izin untuk mencapai lokasi panggilan Hind.

Mereka menemukan Hind dan keluarganya telah tewas dalam keadaan mobil mereka rusak parah oleh tembakan.

Dekat mobil Hind, sebuah ambulans terbakar, dimana kru Bulan Sabit Merah tewas dalam serangan yang disengaja oleh IDF, meskipun telah berkoordinasi dengan Israel untuk misi penyelamatan.

Baca Juga: Chae Jong Hyeop Umumkan Akun X (Twitter) Pribadi untuk Berinteraksi dengan Para Penggemar

Meski Bulan Sabit Merah telah mendapat izin dari otoritas Israel untuk menyelamatkan seorang anak perempuan pada 29 Januari, mereka malah menjadi sasaran serangan tank IDF.

Namun, tidak ada yang diadili dari pasukan Zionis atas pembantaian tersebut.

Sebelum serangan darat di Rafah, Amnesty International dan Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan tentang potensi kekerasan dan dampak luar biasa yang mungkin terjadi.

Peringatan-peringatan tersebut diabaikan, termasuk pemberitahuan Netanyahu kepada Menlu AS Blinken tentang rencana serangan ke Rafah.

Gedung Putih sebelumnya telah memperingatkan bahwa serangan Israel di Rafah akan berakibat bencana bagi warga Palestina.

Hamas menyatakan bahwa serangan Israel ke selatan Jalur Gaza adalah bagian dari kelanjutan upaya genosida yang dilakukan oleh Israel.

Hamas menyatakan di Telegram bahwa serangan tersebut menegaskan bahwa pemerintah Netanyahu telah mengabaikan keputusan Mahkamah Internasional yang memerintahkan tindakan mendesak untuk menghentikan tindakan yang mengarah ke genosida.

Hamas menyebut pemerintah AS dan Israel sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pembantaian tersebut, dan meminta kepada komunitas internasional untuk menghentikan agresi ini.

Pihak Kepresidenan Palestina mengecam rencana serangan Israel terhadap Kota Rafah di Gaza sebagai pelanggaran yang tidak dapat diterima.

Baca Juga: Drama ‘Beauty and the Devoted’ Umumkan Pemeran Pendukungnya, Ada Cha Hwa Yun hingga Park Geun Hyung

Dalam pernyataan, mereka menolak keras pernyataan Netanyahu tentang rencana tersebut.

Kepresidenan Palestina, seperti Hamas, menegaskan bahwa Israel bertanggung jawab sepenuhnya atas akibat serangan tersebut, dan juga menekankan "tanggung jawab khusus pemerintah Amerika Serikat untuk mencegah eskalasi yang dapat menimbulkan bencana."

Sejak serangan Israel pada Gaza pada 7 Oktober 2023, lebih dari 28.000 warga Palestina tewas.

85 persen penduduk Gaza mengungsi, kekurangan makanan, air, dan obat-obatan. 60 persen infrastrukturnya rusak, menurut PBB.

Kementerian Luar Negeri Mesir mengingatkan tentang konsekuensi serius dari rencana serangan darat di Kota Rafah, Jalur Gaza selatan, yang direncanakan oleh Israel.

Mesir meminta upaya bersama internasional dan regional untuk mencegah serangan tersebut, karena Rafah merupakan tempat perlindungan terakhir bagi sekitar 1,4 juta pengungsi Palestina di Gaza.

Kementerian Luar Negeri Arab Saudi meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengadakan pertemuan darurat pada Sabtu (10/2) saat Israel bersiap untuk melakukan operasi darat di Rafah.

Arab Saudi menyoroti pentingnya pertemuan luar biasa DK PBB untuk mencegah terjadinya bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh tindakan Israel.

Baca Juga: YG Entertainment Berkolaborasi dengan Avex Jepang untuk Audisi dalam Mencari Bakat Baru

Di negara Barat sendiri membagikan keprihatinannya atas rencana penyerangan Israel ke Rafah yang terdapat separuh penduduk Gaza berlindung di sana melalui platform X.

Meskipun keprihatinan penting, tanpa tindakan konkret untuk menghentikan agresi Israel di Palestina, pemimpin dunia hanya akan terlihat tidak berdaya menghadapi genosida yang terus terjadi.***

Editor: Inayah Nurfadilah

Sumber: Antara News

Tags

Terkini

Terpopuler